Kamis, 04 Desember 2008

Skandal indover (2)

Likuidasi Bank
Indover dan BLBI Jilid Kedua
.
Selasa, 4 November 2008 | 03:00 WIB

M Fajar Marta dan Orin Basuki

Likuidasi Bank Indover adalah sebuah ironi, yang mengungkapkan ketidakmampuan para pejabat negara mengambil keputusan tegas dan jujur pada saat genting. Bangkrutnya anak usaha Bank Indonesia itu juga menceritakan betapa lemahnya koordinasi antarlembaga negara dan keberanian pemimpin mengambil risiko.

Kasus likuidasi NV De Indonesische Overzeese Bank (Bank Indover) tidak hanya sebatas polemik terhadap keuntungan dan kerugian dari aspek finansial. Bangkrutnya Indover menimbulkan dampak nonfinansial yang lebih menyedihkan.

Meskipun tergolong bank ecek-ecek di Belanda, tempatnya berkantor pusat, Indover memiliki nilai tinggi karena merupakan etalase perbankan dan juga perekonomian Indonesia di dunia internasional. Bank yang juga memiliki kantor cabang di Hongkong itu semakin disorot karena dimiliki sebuah bank sentral, Bank Indonesia (BI).

Dunia internasional pasti geleng-geleng kepala, bagaimana mungkin bank yang dimiliki lembaga pengawas perbankan bisa bangkrut. Mungkin muncul praduga, jangan-jangan BI tidak memiliki dana untuk menyuntik modal baru. Pertanyaan lanjutannya: jika tak memiliki dana, lalu bagaimana BI bisa menjaga stabilitas moneter?

Mungkin pula timbul pemikiran: kalau BI tidak bisa mengelola banknya sendiri, bagaimana lembaga ini bisa mengawasi 130 bank yang beroperasi di Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan itu bisa saja dijawab karena memang ada penjelasan logisnya. Namun, ada pertanyaan lain yang kemungkinan sulit dijawab. Jika Indover terlikuidasi akibat terbentur aturan, mengapa para pejabat negara yang terkait tidak duduk bersama dan lalu menghilangkan persoalan yang menghambat?

Likuidasi Indover adalah cerita konyol. Semua pihak terkait, Bank Indonesia, DPR, dan pemerintah, sepakat bulat menyelamatkan Indover.

”BI berupaya untuk menyelamatkan Indover,” kata Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom. BI juga telah mengusulkan suntikan modal baru sekitar Rp 7 triliun.

”Komisi XI DPR tidak keberatan apabila BI dan pemerintah melakukan langkah-langkah untuk menangani permasalahan Bank Indover sejauh tetap memerhatikan dan tidak bertentangan dengan UU,” demikian keputusan Komisi XI DPR tanggal 23 Oktober 2008.

Pemerintah pun pada prinsipnya setuju agar permasalahan Indover diselesaikan.

Peran strategis

Semua pihak bersepakat Indover perlu diselamatkan karena perannya yang amat strategis. Indover merupakan satu-satunya bank milik Indonesia yang memiliki izin beroperasi penuh di Belanda. Ini menjadi penyeimbang di tengah semakin banyaknya bank milik asing yang beroperasi di Indonesia.

Indover juga berpotensi menjadi gerbang pembiayaan perdagangan Indonesia-Belanda atau kawasan Eropa.

Pertanyaannya, jika semua sudah sepakat, mengapa BI akhirnya menghentikan upaya penyelamatan?

Kini, likuidasi Indover membuyarkan banyak asa. Peristiwa tersebut justru merusak citra perbankan Indonesia yang disebut-sebut memiliki fundamental kuat, lebih bagus dibandingkan dengan negara lain di kawasan. Likuidasi Indover menenggelamkan pencapaian BRI yang meraih laba terbesar Rp Rp 4,24 triliun per triwulan III-2008. Juga menguapkan berita positif pelunasan utang luar negeri BRI sebesar 150 juta dollar AS (setara Rp 1,5 triliun) yang menunjukkan sehatnya kondisi likuiditas perbankan domestik.

Trauma

Seorang pejabat BI mengatakan, penyelamatan Indover tak dilanjutkan karena BI tidak mendapat jaminan hukum dari DPR jika gagal.

Siapa pun setuju bahwa hukum harus ditegakkan setegak-tegaknya dan tanpa kompromi. Namun, tak dimungkiri pula itu telah menciptakan ketakutan orang untuk bertindak.

Suntikan modal ke Indover berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari mengingat itu terkait dengan kekayaan negara. Bagaimana jika suntikan modal Rp 7 triliun itu gagal dan Indover kembali kolaps? Badan Pemeriksa Keuangan tentu menghitungnya sebagai kerugian negara.

Penegak hukum akan mempermasalahkan mengapa dalam situasi keuangan global yang tidak menentu—apalagi Eropa dan Amerika Serikat merupakan kawasan yang paling parah terkena krisis—suntikan modal tetap dilakukan.

BI semakin khawatir karena lembaga yang disebut-sebut terbaik dari sisi sumber daya manusia itu ”cukup” berpengalaman dengan masalah hukum gara-gara memutuskan sebuah kebijakan, yang sejatinya memang harus diambil saat itu.

BI begitu trauma karena tak henti-hentinya orang-orang terbaiknya yang pernah menjadi direktur, deputi gubernur, bahkan gubernur diadili akibat buntut dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis 1997-1998.

Belajar dari pengalaman itu, menjadi wajar jika Dewan Gubernur BI yang dipimpin Boediono meminta jaminan hukum kepada DPR.

DPR yang beberapa anggotanya terjerat buntut kasus BLBI juga tak mau berbuat konyol. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) DPR, Dradjad Wibowo, mengungkapkan, Komisi XI bermain aman dengan memberikan pernyataan dukungan penyelamatan yang tidak tegas, terlalu umum, dan menimbulkan banyak tafsir.

Apabila Komisi XI berani dan tegas mendukung BI, tentunya harus tertulis nilai nominal yang akan digunakan BI untuk menyelamatkan Indover.

Ketidaktegasan Komisi XI terjadi karena pemerintah juga tidak mendukung tegas. Menurut Dradjad, dukungan pemerintah juga hanya berupa pernyataan umum dan normatif. Juga tidak ada permintaan resmi.

Hingga batas akhir waktu penyelamatan yang diberikan pengadilan Belanda, yakni 30 Oktober 2008, BI tidak juga mendapatkan jaminan hukum yang tegas sehingga akhirnya BI memutuskan tidak melanjutkan penyelamatan Indover.

Dengan demikian, likuidasi Indover oleh pengadilan Belanda tinggal menunggu waktu.

Likuidasi Indover tak hanya mengungkap betapa lemahnya koordinasi para pejabat negara, tetapi juga praktik penyelewengan dalam pengelolaan Indover.

Anggota Komisi XI DPR, Rama Pratama dan Maruarar Sirait, mendesak agar penyimpangan dan indikasi korupsi atas penyelenggaraan Indover diusut tuntas.

Jadi, kasus Indover memang dilema bagi BI. Apa pun keputusannya, apakah dibiarkan bangkrut atau diselamatkan, tetap menimbulkan implikasi hukum.

Tidak ada komentar: