Kamis, 04 Desember 2008

Analisis ekonomi : Resesi, depresi dan PHK

ANALISIS EKONOMI
Resesi, Depresi, dan PHK

Senin, 1 Desember 2008 | 03:00 WIB

Rhenald Kasali

Kalau tetangga kehilangan pekerjaan, itu namanya resesi. Kalau Anda juga kehilangan pekerjaan, itu depresi.”

Berapa pun besarnya pesangon, menjadi penganggur sungguh tidak enak. Menurut Harvey Brenner, setiap 10 persen kenaikan penganggur, kematian naik 1,2 persen, serangan jantung 1,7 persen, bunuh diri 1,7 persen, dan harapan hidup berkurang 7 tahun.

Namun, ada kabar gembira, orang yang kepepet bisa hijrah jadi pengusaha asalkan lingkungannya kondusif.

Minggu lalu, Organisasi Buruh Internasional mengumumkan krisis keuangan global akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja 20 juta orang. Padahal, tanpa krisis, 190 juta orang menganggur. Di AS, angka PHK baru 1,2 juta. Lantas, di mana pengangguran terbesar? Sebagian besar menduga China.

Namun, Dirjen ILO menyebut China relatif aman karena pasar domestiknya kuat. Di Thailand, 1 juta orang akan menganggur. Singapura sama, tetapi parlemen mengizinkan pemerintah mengatur keuangan agar lebih adaptif.

Di Indonesia, yang pesimistis menyebut pengangguran akan menyentuh 2 juta orang, yang moderat menyebut 1 juta. Hitungan ekonominya, penurunan ekonomi 1 persen, lapangan pekerjaan menyusut 150.000. Di lapangan, sebagai antisipasi krisis, pengusaha mulai menahan ekspansi. Konsumsi listrik untuk industri di Jawa sebulan terakhir turun lebih dari 5 persen.

Namun, benarkah ancaman pahit itu akan menjadi kenyataan? Di AS, yang paling terkena krisis adalah jasa keuangan, perumahan, ritel, otomotif, dan konstruksi. Di negara lain, yang terimbas adalah sektor-sektor ekspor, seperti garmen, furnitur, dan bahan mentah.

Namun, di Indonesia, segala industri, juga UMKM, bisa terkena kalau respons operasional birokrasi lamban dan inkonsisten. Kita ambil saja dua contoh, industri kertas dan UMKM.

Dalam industri kertas, Indonesia punya keunggulan daya saing alamiah sehingga berpotensi menggeser kompetitor dari negara yang sedang terimbas krisis.

Di khatulistiwa, pohon akasia dapat dipanen 6 tahun, sementara di Eropa Utara butuh 20-40 tahun. RAPP dan Indah Kiat masing-masing menanam investasi lebih dari Rp 50 triliun. Perangkat hukum hutan tanaman industri, mulai dari UU No 41/199 sampai PP No 6/2007, sudah lengkap. Kalau kondusif, industri ini bisa jadi powerhouse ekonomi.

Studi LPEM FEUI (2006) menemukan multiplier tenaga kerjanya 2,381 sehingga berhasil menstimulasi lapangan pekerjaan di Provinsi Riau sekitar 250.000 (2005). Sampai bulan September 2008, RAPP masih menjual dollar ke BI sebesar 500 juta dollar AS.

Namun, karena setahun terakhir ini aparat di lapangan bertikai dan saling menuding, pasokan kayu pun menipis.

Kita tahu polisi saat itu ingin membongkar sindikat pembalakan hutan. Kejaksaan ingin dapat nama dalam pemberantasan korupsi. Namun, ibarat kaum bisu tuli dalam tarian the thousand hands of Buddha, hanya satu orang yang boleh di depan. Nyatanya, semua ingin ke depan sehingga timbul kekacauan dan rantai suplai yang dibangun bertahun-tahun hancur.

Dalam situasi demikian, bulan lalu RAPP mem-PHK 1.000 karyawan tetapnya.

Lain lagi UMKM. Pengalaman di Korea Selatan, Thailand, dan China, pengembangan UMKM tidak boleh dipisahkan dari industri penopangnya yang bersifat komplementer sehingga harus membentuk kluster. Dalam setiap kluster ada 2-3 perusahaan besar yang menjadi lokomotif bagi gerbong-gerbong itu.

Karena tidak integratif, penanganan UMKM di Indonesia tidak efektif. Yang satu memberikan bantuan, Satpol PP menggusurnya. UMKM ditanam sporadis sehingga bertabrakan. Belum bisa jadi alat pencipta kesejahteraan yang stabil. Angka kematiannya pun sangat tinggi.

Dua contoh itu menunjukkan pentingnya membangun spirit Indonesia alignment. Semua kekacauan itu dimulai dari visi yang belum terurai sampai level operasional, malah masing-masing asyik dengan ”hobinya” dan ingin tampil ke depan sendiri-sendiri.

Upaya mengatasi resesi dan depresi dapat diibaratkan dengan dua kalajengking milik presiden, yang ditaruh dalam gelas. Obama dan pemimpin negara lain sama-sama menggenggam kalajengking. Begitu air dimasukkan ke dalam gelas, dalam hitungan menit gelas Obama sudah kosong. Kalajengking yang satu mengatakan kepada temannya, “Ini benar-benar sudah gawat, kita bisa mati. Naiki pundak saya, sampai di atas tolong tarik saya.” Mereka sepakat, seperti slogan kampanyenya, ”Change, You Can Believe In”.

Bagaimana kalajengking di gelas lainnya? Begitu yang satu naik sedikit, kawannya bukan mendorong, malah menarik kakinya ke bawah. Walhasil, keduanya sama-sama mati.

Pada akhirnya kita hanya bisa keluar dari resesi bukan karena kehebatan kita, melainkan apakah kita benar-benar percaya bahwa ancaman krisis dan PHK ini riil dan tidak main-main, lalu apakah kita mau bekerja sama dan beradaptasi? Birokrasi Indonesia berubahlah!

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: