Kamis, 04 Desember 2008

Deindustrialisasi selama 3 Tahun Terakhir

Sektor Riil
Sektor Industri Gagal Dorong Pertumbuhan
Senin, 17 November 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pembangunan perekonomian Indonesia dinilai tidak optimal karena kegagalan sektor industri menjadi mesin pertumbuhan yang mampu mendorong pembangunan berkelanjutan.

Indonesia kini mengalami deindustrialisasi. Kondisi ini mesti dihadapi dengan membenahi struktur industri serta melepaskan diri dari ekses mekanisme pasar dan desentralisasi.

Pandangan tersebut mengemuka dalam pidato pengukuhan Ine Minara S Ruky sebagai guru besar tetap bidang ilmu ekonomi di Universitas Indonesia, Sabtu (15/11).

Ine menyampaikan pidato pengukuhan berjudul ”Industrialisasi di Indonesia: Dalam Jebakan Melanisme Pasar dan Desentralisasi”.

Pada saat yang sama dikukuhkan pula dua guru besar tetap lainnya dalam bidang ilmu ekonomi Universitas Indonesia, yakni Robert Arthur Simanjuntak dan Sulastri Surono.

Ine menjelaskan, dari sisi kemampuan menyerap tenaga kerja, sejak 1980 hingga 2007, proporsi pekerja sektor industri dalam total tenaga kerja di Indonesia hanya meningkat 3,86 persen dari 8,52 persen menjadi 12,38 persen.

Penyerapan tenaga kerja pada sektor industri itu lebih rendah dibandingkan sektor perikanan, kehutanan, perburuan, dan perikanan serta sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel.

Pada periode 1986-1991, industri manufaktur tumbuh di atas 10 persen. Pada 1992-1996, pertumbuhan sektor ini berada pada kisaran 9,5-11,6 persen.

Bergerak mundur

Pascakrisis 1997-1998, pertumbuhan industri tidak pernah mencapai 7 persen, bahkan melambat, dengan pertumbuhan kurang dari 5 persen berturut-turut selama tiga tahun terakhir.

Sejak 1989 industri menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar. Namun, tiga tahun terakhir, proporsi persentasenya terus menurun dari 28,08 persen menjadi 27,4 persen, bersamaan dengan penurunan sumbangan sektor pertanian.

”Ini menunjukkan bahwa keinginan awal untuk membangun sektor industri yang mendukung sektor pertanian belum tercapai,” demikian disampaikan Ine.

Dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Timur, industrialisasi di Indonesia bergerak mundur.

Kondisi deindustrialisasi juga ditandai dengan peningkatan ekspor komoditas pertanian dan pertambangan di tengah menurunnya ekspor hasil industri pengolahan.

”Deindustrialisasi bukan berarti tidak ada industri yang tumbuh. Kalau demikian adanya, itu merupakan gejala munculnya resesi,” ungkap Ine.

Menurut Ine, reindustrialisasi yang dikoordinasikan oleh negara perlu diupayakan di Indonesia.

”Keputusan yang mencakup barang dan jasa apa yang akan diproduksi, dengan cara apa diproduksi, di mana lokasinya, bagaimana distribusi hasilnya tidak bisa hanya menjadi keputusan-keputusan individu seperti sekarang ini. Jika pembangunan industri diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti penyerapan tenaga kerja, maka keputusan-keputusan itu tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar,” ujarnya.

Namun, industrialisasi juga memerlukan variabel non-ekonomi, seperti tenaga kerja terampil, sistem politik yang stabil, dan masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.

Oleh karena itu, selain ditunjukkan oleh indikator ekonomi, pencapaian indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) menjadi salah satu indikator keberhasilan industrialisasi.

Proses industrialisasi yang dikoordinasikan negara tidak bisa berjalan jika Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional sekadar menjadi bahan yang perlu diperhatikan pada penyusunan RPJP Daerah, seperti disebutkan oleh UU No 17/2007 tentang RPJP.

Pengaturan seperti ini membuat kebijakan di tingkat pusat berpotensi hanya menjadi ketetapan tanpa ada wujud nyatanya di tingkat praksis. (DAY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/17/01154690/sektor.industri.gagal.dorong.pertumbuhan

Tidak ada komentar: