Kamis, 05 Maret 2009

Imbal hasil obligasi RI meningkat

Dana Global Menyusut
Waspadai Beban Utang yang Kian Berat
Kamis, 5 Maret 2009 | 04:43 WIB

Jakarta, Kompas - Dana global yang diperebutkan penerbit obligasi, termasuk Indonesia, menyusut dari sekitar 600 miliar dollar AS menjadi 160 miliar dollar AS. Kondisi ini menyebabkan imbal hasil yang dituntut pemilik dana semakin tinggi sehingga biaya penerbit obligasi semakin mahal.

”Dengan demikian, terjadi penurunan dana yang dialirkan ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sekitar 400 miliar dollar AS,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, dalam Rapat Kerja dengan Panitia Adhoc II dan IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Rabu (4/3).

Menurut Sri Mulyani, akibat ketatnya likuiditas yang tersedia, imbal hasil (yield) yang diminta pemilik dana atas obligasi yang ditawarkan oleh negara, seperti Indonesia, meningkat 110 basis poin.

Hal tersebut terjadi sejak 26 Februari 2009, atau saat obligasi global Pemerintah Indonesia diterbitkan, hingga saat ini.

”Peningkatan imbal hasil itu juga disebabkan memburuknya perekonomian, yang ditunjuk-kan antara lain oleh pengumuman kerugian perusahaan kelas dunia, seperti AIG,” ujar Sri Mulyani.

Menteri Keuangan menolak pendapat sebagian kalangan yang menyatakan bahwa imbal hasil yang diberikan pemerintah atas dua seri obligasi global yang diterbitkan 26 Februari 2009 terlalu tinggi. Setiap keputusan imbal hasil, diserahkan kepada mekanisme pasar.

”Artinya, yield yang diambil merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran para pemilik modal di saat itu. Sekarang, dalam seminggu saja, imbal hasil yang diminta pasar sudah naik 110 basis poin, sudah semakin tinggi,” kata Sri Mulyani.

Obligasi Pemerintah Indonesia yang diterbitkan 26 Februari 2009 tersebut dilepas dengan tenor lima dan 10 tahun. Untuk

yang jatuh tempo lima tahun, diserap pasar senilai 1 miliar dollar AS, dengan yield 10,5 persen. Adapun obligasi yang jatuh tempo 10 tahun terserap 2 miliar dollar AS dengan yield 11,75 persen.

Kenaikan suku bunga

Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan bahwa akibat penerbitan kedua seri obligasi tersebut, beban utang Indonesia kian berat. Tingginya yield itu akan mendorong kenaikan suku bunga di dalam negeri, baik untuk perbankan maupun obligasi.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Dradjad H Wibowo menegaskan, setiap tahun jumlah obligasi yang diterbitkan semakin besar untuk menutup pembayaran pokok dan bunga obligasi yang diterbitkan sebelumnya.

Pada tahun 2002, Indonesia hanya menerbitkan obligasi Rp 2 triliun, lalu naik Rp 11,5 triliun, hingga sekarang sudah Rp 150 triliun. ”Pembayaran pokok dan bunga obligasi ditutup dengan penjualan obligasi baru,” ujar-nya. (OIN)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/05/04430786/dana.global.menyusut.

Ngutang dari Bank Dunia, saldo nya 1.667 T

Utang dari Bank Dunia
Posisi Utang Mencapai Rp 1.667 Triliun
Kamis, 5 Maret 2009 | 05:31 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia mendapat pinjaman siaga senilai 2 miliar dollar AS dari Bank Dunia. Tambahan komitmen itu menjadikan total pinjaman siaga yang dapat dihimpun untuk mengatasi dampak krisis ekonomi global mencapai 5,5 miliar dollar AS.

Dana itu efektif dipakai apabila mobilisasi dana dari penerbitan surat utang negara di pasar domestik maupun internasional mengalami kondisi harga yang sangat mahal atau tidak rasional, atau kesulitan mengakses pasar karena likuiditasnya tidak ada.

”Sebenarnya situasi hari-hari ini sudah kategori bisa mencairkan pinjaman itu,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Rabu (4/3) di Jakarta.

Per 31 Januari 2009, total utang Indonesia mencapai Rp 1.667 triliun atau 30 persen lebih dari produk domestik bruto. Utang tersebut berupa pinjaman Rp 740 triliun dan surat berharga Rp 920 triliun.

Dalam dua tahun terakhir, pemerintah lebih berorientasi pada penerbitan surat berharga untuk menutup defisit anggaran dan menurunkan pinjaman luar dari lembaga keuangan atau negara dalam kerangka multilateral atau bilateral. Namun, karena meledaknya krisis keuangan global, pinjaman surat berharga menjadi lebih mahal sehingga ada kecenderungan pemerintah kembali pada pinjaman langsung. Pemerintah memperkirakan target defisit anggaran tidak lebih dari 2,6 persen tetap bisa dipenuhi.

Pejabat Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Chris Hoban mengatakan, fasilitas pinjaman siaga ini baru pertama kali dilakukan Bank Dunia. ”Indonesia jadi model percontohan fasilitas pinjaman siaga semacam ini. Bank Dunia sangat optimistis dengan perencanaan Indonesia mengatasi krisis,” ujarnya.

Mendukung stimulus

Pinjaman dari Bank Dunia itu akan digunakan untuk mendukung paket stimulus fiskal Rp 73,3 triliun. Indonesia mendapatkan komitmen serupa dari Pemerintah Australia 1 miliar dollar AS, Jepang 1,5 miliar dollar AS, dan Bank Pembangunan Asia 1 miliar dollar AS. Semuanya untuk tahun 2009-2010.

Sri Mulyani menilai jumlah pinjaman siaga yang sudah didapat Indonesia cukup memadai untuk memenuhi program stimulus fiskal tahun ini. ”Pemberi pinjaman mengharapkan tidak dihabiskan tahun ini,” ujarnya.

Namun, Indonesia akan tetap menjaga akses terhadap pasar keuangan internasional. Indonesia telah menerbitkan obligasi global sejumlah 3 miliar dollar AS.

Menteri Keuangan menegaskan, apabila dinilai masih mungkin, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat bisa membahas stimulus lanjutan. ”Saat ini posisinya pemerintah akan menjalankan yang sudah disepakati dan melihat realisasi sepanjang semester pertama,” ujar Sri Mulyani menjelaskan.

Stimulus Rp 73,3 triliun baru akan berjalan pekan-pekan ini. Efek stimulus akan terlihat pada kuartal II tahun 2009. (DOT)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/05/05311089/utang.dari..bank.dunia

Maret, Kondisi ekonomi memburuk

Kondisi Perekonomian Semakin Buruk
Pertumbuhan Ekonomi Maksimal Hanya 4 Persen
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para pencari kerja antre untuk menyerahkan surat lamaran pekerjaan kepada salah satu perusahaan dalam bursa karier di Graha ITS Surabaya, Jawa Timur, Rabu (4/3). Bursa kerja yang berlangsung hingga hari ini diadakan di kampus sebagai upaya menjembatani kebutuhan pencari kerja dan perusahaan yang masih mempunyai lowongan pekerjaan di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja.
Kamis, 5 Maret 2009 | 05:37 WIB

Jakarta, Kompas - Kondisi perekonomian global yang lebih buruk dari perkiraan membuat pertumbuhan ekonomi domestik kian lambat. Prediksi pertumbuhan 2009 pun kembali diturunkan. Untuk menahan pelambatan lebih dalam, suku bunga acuan dipangkas 50 basis poin menjadi 7,75 persen.

Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (4/3) di Jakarta, menyebutkan, perkembangan ekonomi global menunjukkan pelambatan lebih dalam, tecermin dari merosotnya perekonomian negara-negara maju yang lebih besar daripada perkiraan. Kondisi pasar keuangan global pun masih sangat rapuh dengan semakin banyaknya laporan kerugian lembaga keuangan dunia.

Hasil Rapat Dewan Gubernur BI juga mengingatkan, perekonomian domestik pun akhirnya juga melambat lebih dalam. Ini tecermin dari penurunan nilai ekspor dan timbulnya sentimen negatif terhadap pasar keuangan domestik, yang ujungnya memengaruhi kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Badan Pusat Statistik, misalnya, melaporkan nilai ekspor Januari 2009 anjlok 17,7 persen terhadap Desember 2008. Jatuhnya nilai ekspor membawa konsekuensi antara lain melemahnya kinerja sektor usaha penyerap tenaga kerja dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja pada sektor industri yang berorientasi ekspor. Ini akhirnya menimbulkan efek menurunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Padahal, ekspor dan konsumsi rumah tangga merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi.

Rendahnya daya beli mulai tampak pada anjloknya penjualan kendaraan bermotor, semen, dan alat elektronik.

Investasi tidak bergerak

Kondisi perekonomian makin parah karena investasi tak bergerak dan belanja konsumsi pemerintah belum berjalan optimal.

Macetnya investasi dan kegiatan sektor riil terlihat dari posisi kredit yang turun 2,1 persen dari Rp 1.300 triliun pada akhir Desember 2008 menjadi Rp 1.273 triliun per Januari 2009. Seretnya penyaluran kredit makin diperparah oleh kekhawatiran perbankan terhadap meningkatnya kredit bermasalah.

Menyikapi situasi ini, BI pun menurunkan level pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen menjadi 4 persen. Angka 4 persen itu pun bersifat pesimistis karena berpotensi besar turun lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, angka proyeksi 4,5 persen masih bisa turun karena ekspor negatif. Kalau titik keseimbangan pertumbuhan lebih rendah, tentu konsekuensinya beberapa target pembangunan tidak tercapai.

Tanda pelambatan ekonomi kian jelas setelah Ditjen Pajak mengumumkan realisasi penerimaan pajak Januari 2009. Penerimaan pajak nonmigas Rp 34,288 triliun, hanya tumbuh 5 persen dibanding Januari 2008.

”Ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak melambat. Pada kondisi normal, 18-20 persen per bulan,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution.

Data perekonomian terkini menunjukkan tidak ada satu indikator fundamental perekonomian pun yang bisa menerbitkan optimisme.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang menjadi jendela perekonomian di dunia internasional terus tertekan. Tidak hanya oleh penurunan ekspor yang drastis, tetapi juga karena masih berlanjutnya penjualan aset-aset rupiah oleh investor asing di pasar modal dan pasar uang.

Defisit ganda pun kini terjadi, yakni dalam transaksi perdagangan dan transaksi modal dan keuangan.

Permintaan dollar AS yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasokannya telah melemahkan rupiah ke level Rp 12.033 per dollar AS pada penutupan perdagangan di BI kemarin. Level ini merupakan yang terburuk sejak Desember 2008.

Memburuknya neraca pembayaran dan juga pelemahan nilai tukar membuat cadangan devisa tergerus. Posisi kini sebesar 50,56 miliar dollar AS, turun dibandingkan Juli 2008, yang tercatat 60,56 miliar dollar AS.

Makin lambat

Sejumlah pengamat menilai perekonomian Indonesia bakal makin lambat dari perkiraan semula. ”Mencapai 3 persen saja sudah hebat karena negara tetangga akan tumbuh negatif,” kata pengamat moneter dan perbankan Iman Sugema.

Apalagi stimulus fiskal sebesar Rp 73,3 triliun dan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan (BI Rate) pun diragukan efektivitasnya.

Menurut Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono, stimulus fiskal kemungkinan besar terhambat oleh lambatnya penyerapan anggaran.

Kebijakan moneter pun terhadang banyak hambatan, salah satunya transmisi suku bunga. Sejak Desember 2008, BI Rate telah dipangkas 175 basis poin, tetapi suku bunga kredit hanya turun sekitar 50 basis poin.

Tingginya biaya dana, rendahnya efisiensi bank, kekhawatiran meningkatnya kredit bermasalah, dan tekanan pemilik agar bank tetap memperoleh keuntungan membuat manajemen bank tetap mematok suku bunga kredit yang tinggi, sekitar 16 persen per tahun.

Iman menyarankan, dalam situasi seperti ini, BI harus mendorong perbankan lebih keras berekspansi ke sektor usaha mikro dan kecil, yang telah terbukti tahan menghadapi gejolak.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara menyarankan agar mempercepat pengeluaran pemerintah dan penurunan suku bunga untuk usaha yang prospektif. (FAJ/DOT/REI/OIN)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/05/05371536/kondisi.perekonomian.semakin.buruk