Kamis, 04 Desember 2008

PHK melambung tinggi

Jumlah PHK Meroket
Instrumen Menggenjot Pasar Domestik Harus Jelas
Senin, 1 Desember 2008 | 00:17 WIB

Jakarta, Kompas - Polemik tentang peraturan bersama empat menteri dikhawatirkan mempercepat ancaman PHK. Sampai Jumat (28/11), sedikitnya 15.000 orang telah kehilangan pekerjaan. Pekerja yang sedang menunggu pengesahan PHK juga sudah mencapai 50.000 orang, naik empat kali lipat dalam dua pekan terakhir.

Jumlah ini bisa makin meroket dalam waktu singkat karena goyahnya sejumlah industri inti yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagian besar industri padat karya berskala besar hidup dengan jaringan industri pendukungnya.

Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, industri inti bisa memiliki tiga sampai empat tahap industri pendukung. Praktik lazim dilakukan oleh industri berskala besar untuk menggenjot penyelesaian order. ”Kalau (industri) inti terganggu, subkontraktor-subkontraktor itu bakal terkena dampak parah dan cepat sekali efek dominonya,” ujar Sofjan.

Industri inti yang mendapat order dari pasar internasional biasanya menggenjot produksi. Agar order bisa selesai tepat waktu, beberapa bagian dari order diberikan kepada pihak ketiga, yakni subkontraktor.

Pabrik sepatu, misalnya, menyerahkan pekerjaan pemotongan kain kepada pihak ketiga. Pemegang order lantas tinggal menyatukan potongan-potongan bahan sepatu di pabriknya lalu mengemas dan mengekspor.

”Jika semua lini seperti ini terganggu, anjuran pemerintah supaya orang tetap belanja tidak ada gunanya. Bagaimana mau belanja kalau sudah tak bekerja?” kata Sofjan.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy menjelaskan, industri garmen yang bisa bertahan sangat bergantung pada dua faktor. Pertama, pasokan bahan baku yang bergantung pada industri benang dan rajut, yang sebagian besar masih diimpor. Kedua, order. Lesunya order dipastikan akan menggoyang industri garmen. Sejauh ini penurunan order garmen sudah berkurang 20-30 persen, sedangkan kain rajutan 10-15 persen.

Ernovian mengatakan, ”Saat mereka mulai kesulitan, praktis pelaku industri akan mengurangi giliran (shift) kerja. Kemudian, mengurangi jumlah tenaga gudang, keamanan, dan sopir, pelayan kebersihan, hingga staf kantor. Buruh pabrik merupakan pilihan terakhir.”

Maka, pengusaha berharap pemerintah semakin cakap mengatasi krisis. Guncangan pada industri inti mampu merontokkan industri pendukung karena efek domino yang besar. Sebelum berdampak pada industri garmen, dampak serius bisa terjadi mulai dari industri serat (fiber making) yang memiliki 28 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 28.600 orang.

Kemudian, industri pemintalan (spinning) dan tenun (weaving) yang memiliki 205 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 207.764 orang. Lalu, dampak serius juga bisa terjadi pada industri pencelupan (dyeing) tekstil sebanyak 1.044 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja 344.200 orang.

Guncang

Keguncangan industri pendukung yang menyediakan bahan baku untuk hilir sudah terjadi di Kalimantan. Begitu dari industri hilir lesu, industri hulu yang memproduksi bahan baku setengah jadi pun guncang.

Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA) Kalimantan Timur Soenarko mengatakan, dua dari empat produsen kayu gergajian yang tersisa di Kaltim berniat merumahkan sebagian karyawan akibat kehabisan order. Perusahaan itu adalah PT Tirta Mahakam Resources Tbk dan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk di Samarinda. Adapun dua perusahaan lainnya adalah PT Intracawood Manufacturing dan PT Idec Awi di Tarakan.

Jepang dan Amerika Serikat merupakan pembeli utama kayu lapis dan produk kayu Indonesia. Krisis global membuat importir kedua negara menghentikan order sejak November 2008 sampai Februari nanti.

Kondisi itu menimpa sekitar 2.700 karyawan PT Meranti Sakti Indah Plywood dan PT Kayan River Industries Plywood di bawah manajemen Sumber Mas Group di Samarinda. PT Inne Dong Hwa di Kabupaten Penajam Paser Utara juga telah merumahkan 1.890 karyawannya. Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Kaltim Saut Marisi Halomoan Purba, order sudah anjlok 50 persen.

Kondisi serupa terjadi di Kalimantan Barat. Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar Hot Jungjungan Simamora mengatakan, dalam sebulan terakhir sudah 766 buruh industri kayu, karet, pertambangan, dan konstruksi mengalami PHK.

Perjelas instrumen

Pemerintah sebaiknya segera memperjelas berbagai instrumen yang disiapkan untuk menggenjot pasar domestik. Pemerintah setidaknya sudah mengumumkan insentif apa yang diberikan untuk menolong industri yang kolaps dan bagaimana caranya.

Menurut Sekretaris Umum Apindo Anton Supit, pemerintah justru menaikkan tarif pengelolaan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. ”Semestinya, pemerintah menegaskan, terminal handling cost tak perlu naik selama krisis, jadi pengusaha lebih mudah mengekspor,” ujarnya.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, pemerintah harus bergerak cepat dalam menangani krisis. Semua pihak tidak boleh meremehkan kondisi krisis ini.

Menurut Faisal, industri padat karya lebih tahan krisis, yang tersisa tinggal jamu dan rokok. Kedua industri ini mampu bertahan karena sumber bahan baku dan pasar ada di dalam negeri.

Industri yang paling rentan terhadap krisis kini adalah sektor manufaktur berorientasi ekspor dengan bahan baku impor. Industri ini, antara lain, elektronik, garmen, kaca untuk otomotif, dan makanan atau minuman kaleng.

”Tugas pemerintah sekarang adalah mengimplementasikan berbagai rencana pengamanan pasar domestik,” ujarnya.
(HAM/OSA/COK/TRI/ WHY/BRO/DAY)

Tidak ada komentar: