Kamis, 05 Februari 2009

Politisasi Beras oleh Sby

Pertanian
Politisasi Beras di Tengah Kemiskinan
Kamis, 5 Februari 2009 | 01:08 WIB

Hermas E Prabowo dan Wisnu Nugroho

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (4/2), datang ke kantor Perum Bulog, satu-satunya lembaga pemerintah yang berperan untuk menjaga stabilitas harga beras. Selain membahas berbagai kisah sukses Bulog, isu ekspor beras juga mendapat perhatian.

Saya tahu ada wacana, pemikiran di kalangan masyarakat tentang apakah sudah saatnya kita mengekspor beras? Kalau mengekspor beras berapa banyak, jenis apa? Lantas bagaimana kepentingan untuk mencukupi kebutuhan beras sendiri dan sebagainya? Bulog telah merencanakan setelah mencukupi kebutuhan dalam negeri, apabila ada peluang untuk ekspor pada jenis tertentu akan dilakukan,” tutur Presiden.

Terkait rencana ekspor itu, Presiden memberi arahan agar ekspor beras direncanakan dan dipersiapkan secara matang.

Bulog diingatkan, untuk terus mengantisipasi keadaan dengan melihat perkembangan harga beras di pasar dunia, termasuk perkembangan harga dan suplai di dalam negeri.

”Manakala kita sudah bisa mencukupi kebutuhan sendiri dan ada peluang untuk mengekspor beras dalam jumlah tertentu, yang mendatangkan keuntungan ekonomi, tentu hal itu bisa dilakukan,” tegas Presiden.

Kedatangan Presiden ke Bulog dengan mengangkat isu ekspor beras menjadi pelengkap ”politisasi beras”, yang sejak beberapa bulan lalu mulai bergulir.

Beras memang ditampilkan sebagai bagian dari pencitraan terhadap keberhasilan pembangunan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) selama tiga tahun terakhir memang menunjukkan adanya peningkatan produksi beras, rata-rata 4-5 persen.

Bahkan, tahun 2009, Departemen Pertanian menargetkan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 63 juta ton atau setara 36 juta ton beras bersih.

Peningkatan produksi beras menjadi ”jualan” politik menjelang Pemilu 2009. Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, pun menjadikan peningkatan produksi beras bagian dari iklan politiknya.

Melalui iklan di berbagai media, Jusuf Kalla menyatakan keberhasilan pemerintah bersama Partai Golkar meningkatkan produksi beras nasional, sehingga Indonesia yang sebelumnya menjadi importir beras, dalam waktu kurang dari tiga tahun telah menjadi pengekspor.

Jika peningkatan produksi beras dijadikan salah satu tolok ukur keberhasilan pemerintahan Yudhoyono-Kalla, lantas, di manakah posisi Menteri Pertanian Anton Apriyantono, yang notabene berasal dari Partai Keadilan Sejahtera?

Lalu, di mana peran Departemen Pertanian (Deptan), sebagai departemen teknis yang paling bertanggung jawab soal naik-turunnya produksi beras.

Dan, di manakah peran Perum Bulog, sebagai lembaga yang bertugas menjamin stabilitas pasar beras?

Apakah Deptan dan Bulog juga harus ikut dalam perebutan klaim keberhasilan peningkatan produksi beras?

Anggaran Rp 1 triliun

Peningkatan produksi beras harus diakui bukan hasil kerja Deptan semata. Dukungan pemerintahan Yudhoyono-Kalla terhadap sejumlah program unggulan Deptan juga menentukan.

Dukungan itu antara lain dalam Program Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan (PUAP), yang tahun 2008 menelan dana Rp 1,1 triliun, dan pada 2009 dianggarkan sekitar Rp 1 triliun.

Meskipun banyak kejanggalan dalam mekanisme penunjukan desa penerima dana PUAP, yakni Rp 100 juta per desa per kelompok tani, dan sempat memicu ketegangan dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan Mentan, tetapi, program Deptan ini melenggang tanpa hambatan.

Bandingkan dengan anggaran dana bergulir yang dikelola Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, yang tak kunjung bergulir.

Program PUAP relatif mulus meski sejumlah anggota Komisi IV DPR menyebut PUAP sebagai program menarik simpati masyarakat terhadap partai politik tertentu.

Lalu, apakah peningkatan produksi beras dan bergulirnya PUAP telah menyejahterakan petani sebagai produsen utama beras?

Tidak signifikan

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, kenaikan produksi beras dan rencana ekspor tidak mengangkat taraf hidup petani. Kebijakan ekspor hanya akan mencitrakan pembangunan pertanian di Indonesia seakan berhasil.

Dengan model pengembangan pertanian ala revolusi hijau, tetap menjadikan petani sebagai obyek program pemerintah. ”Produksi beras boleh surplus, tetapi petani tetap miskin,” katanya.

Bila tahun 2009 model ”revolusi hijau” tetap dijalankan, maka, menurut Henry, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akan semakin besar. Ini karena subsidi input pertanian akan terus bertambah.

Di sisi lain, ketergantungan petani terhadap subsidi akan semakin dalam. Kreativitas dan kemandirian petani sulit dibangkitkan dengan politik pembangunan pertanian seperti yang dikembangkan saat ini.

Petani Indonesia akan selalu tergantung pada benih yang diproduksi perusahaan benih multinasional. Kondisi ini menyebabkan petani menanggung beban biaya produksi relatif besar, dan tidak mandiri.

Sementara dalam pemenuhan kebutuhan pupuk, berbagai penyimpangan harus dihadapi petani. Ini membuat petani setiap musim tanam menghadapi ”perburuan” pupuk.

Di sisi lain, kenaikan harga beras karena terangsang kenaikan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan hidup petani.

Akibatnya, peningkatan produksi beras belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Survei Litbang Pertanian yang dikutip SPI tahun 2006 menunjukkan, pendapatan per kapita petani padi kurang dari 1 dollar AS per hari.

”Lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga petani disumbang dari kegiatan di luar pertanian. Sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot dari 36,2 persen tahun 1980-an, kini 13,6 persen,” tutur Henry.

Kurang dari 2 dollar

Tahun 2007, pendapatan petani padi, yang menyewa sawah 1 hektar, hanya Rp 17.500 per hari rumah tangga, atau petani atau Rp 4.300 per anggota keluarga.

Dengan mengacu standar Bank Dunia, yakni keluarga miskin adalah keluarga yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari, jelas betapa miskinnya petani Indonesia.

Pengamat pertanian Khudori menyatakan, tetap miskinnya petani di tengah peningkatan produksi beras nasional karena keterbatasan lahan yang dimiliki petani untuk usaha tani padi.

Salamuddin Daeng dari Institute for Global Justice (IGJ) mengatakan, surplus beras tidak menyejahterakan petani karena pangan yang dihasilkan adalah produk yang bernilai tambah rendah dalam perdagangan.

Daeng menyatakan, di lokasi desa mandiri pangan dicanangkan, masih ada yang angka kemiskinannya 55,36 persen. Bagaimana dengan yang belum mandiri?

Oleh karena itu, hentikan politisasi beras. Pikirkan bagaimana menyejahterakan petani.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/05/01085010/politisasi.beras.di.tengah.kemiskinan

Tidak ada komentar: