Kamis, 01 Januari 2009

Pemr Sby keluarkan 14 SP3 untuk pembalakan liar (2)

Pembalakan
LSM Persoalkan SP3
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:49 WIB

Pekanbaru, Kompas - Langkah Kepolisian Daerah Riau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap 13 dari 14 perusahaan kayu besar di Provinsi Riau mulai menuai kecaman. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau yang merupakan kelompok gabungan organisasi pemerhati lingkungan berniat mempraperadilankan keputusan itu.

”Kami masih melakukan koordinasi dengan organisasi lain untuk mengumpulkan bukti-bukti guna mempraperadilankan kasus ini,” ujar Ketua Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau Susanto Kurniawan di Pekanbaru, Selasa (23/12).

Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal (Pol) Hadiatmoko, Senin, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada 13 perusahaan pemilik izin hutan tanaman industri setelah berkoordinasi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Suroso. Kejaksaan menyatakan, unsur melawan hukum terhadap tuduhan perusakan lingkungan dan pembalakan liar sulit dibuktikan (Kompas, 23/12).

Berdasarkan keterangan saksi dari Departemen Kehutanan, perusahaan-perusahaan di bawah dua perusahaan pabrik kertas, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), itu tidak melakukan pembalakan liar, sementara Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyatakan tidak ada perusakan lingkungan.

Menurut Susanto, pihaknya yang merupakan pelapor kasus itu pada masa Kepala Polda Riau dijabat Brigadir Jenderal (Pol) Sutjiptadi mengetahui bahwa perusahaan HTI itu memiliki izin. Namun, izin itu bermasalah karena dikeluarkan bupati dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/2000. Padahal, izin bupati dikeluarkan setelah keputusan itu dicabut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 34/2002.

”Instruksi presiden juga menegaskan bahwa gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter wajib dilindungi. Sementara di Riau, izin konsesi HTI yang menyalahi itu justru diberikan di areal hutan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter,” kata Susanto.

Ia menambahkan, izin HTI juga hanya boleh dikeluarkan di lahan tidak produktif, sementara pada kenyataannya izin itu berada pada hutan rimba raya yang memiliki banyak kayu. PT RAPP juga terbukti mengelompokkan kayu log sebagai kayu bahan baku serpih. Itu merupakan penipuan pajak. Kenapa jaksa dan polisi tidak melandaskan tuduhan dari persoalan ini,” kata Susanto.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR asal Riau, Azlaini Agus, merasa heran atas penolakan jaksa terhadap kesaksian pakar dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Gadjah Mada tentang pembalakan liar dan perusakan lingkungan di Riau.

”Mengapa jaksa memiliki standar ganda dalam kasus di Riau. Seharusnya jaksa meneruskan kasus ini ke pengadilan agar hakim yang memutus,” katanya.

Di Jakarta, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Selasa, mengatakan, Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau harus menjelaskan kepada publik dasar-dasar penerbitan SP3. Transparansi penting agar publik tidak menafsirkan keputusan hukum tersebut dari berbagai perspektif.

Ia mengatakan, publik membutuhkan keterbukaan informasi agar pro dan kontra dalam kasus ini tidak bercampur antara opini, advokasi, dan dasar hukum penerbitan SP3.

Kasus ini juga bisa menjadi preseden bagi penegak hukum dalam menjalankan operasi serupa di daerah lain.

Merasa lega

Direktur Utama PT RAPP Rudi Fajar, yang dihubungi secara terpisah, menyatakan terima kasih dengan langkah berani yang dilakukan Polda Riau.

Dengan adanya keputusan SP3 itu, RAPP merasa lega. Diharapkan tidak berapa lama lagi, 1 juta meter kubik kayu yang dibatasi garis polisi akan dapat digunakan lagi.

”Kami bersyukur karena dinyatakan tidak bersalah. Kami berharap bahan baku itu dapat segera kami ambil untuk bahan baku produksi pabrik. Kami juga mengharapkan, setelah kasus ini berakhir, muncul kepastian hukum agar kami dapat bekerja optimal mengatasi ketertinggalan selama ini,” kata Rudi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Wilayah Provinsi Riau Endro Siswoko mengusulkan, pemerintah seyogianya dapat meringankan beban pengusaha perkayuan Riau yang babak belur selama dua tahun sebelum munculnya keputusan SP3.

Sehubungan dengan terbitnya SP3 ”pembalakan liar”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, saat ditanya pers kemarin, belum mengetahui hal itu. Presiden belum dilapori hal itu. (SAH/HAR/HAM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/24/02494219/lsm.persoalkan.sp3

Tidak ada komentar: